Di sebuah stasiun kereta api yang sederhana dan sepi,
aku duduk termenung memperhatikan rel kereta api yang sudah usang dimakan oleh
waktu. Aku duduk di sebuah kursi panjang di sudut stasiun. Temanku yang bernama
Joe, duduk agak berjauhan dariku namun pada kursi yang sama. Tak ada kata
terucap diantara kami seolah ada suatu penghalang yang membatasi kami. Udara di
sekitar stasiun itu begitu dingin dan berkabut, namun tidak membuat hatiku yang
panas dan marah menjadi dingin……………angin yang membelai dirikupun tak mampu
meredakan amarahku yang sudah sampai keubun-ubun.
Setelah beberapa lama aku mencoba untuk menahan
amarahku, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. “Kenapa,……kenapa
Joe, kau tega lakukan itu kepadaku? Bukankah kau tahu bahwa aku sangat
mencintai Angela…..” gumamku…… namun dia diam saja seolah tak menghiraukan apa
yang baru aku katakan. “Teganya kau padaku Joe, padahal kau sudah kuanggap
sebagai teman bahkan saudara kandungku sendiri” nada suaraku semakin tinggi seiring
dengan perihnya sakit hati yang kurasakan.
“Saat itu dia begitu menantikanmu hari demi hari, bulan
demi bulan dan bahkan bertahun-tahun!!! Aku yang mendampinginya pada saat dia
sakit dalam penantiannya. Jadi apa salahku jika akhirnya kami harus menikah dan
memulai lembaran baru………………bukankah kau tak pernah memberinya kabar berita….”
Joe mencoba memberi penjelasan dan berjalan kearahku dan hendak mengatakan
sesuatu kepadaku…..namun aku terburu emosi dan memotong perkataan dia.
Apa kau bilang?!! Aku berteriak dan berdiri sambil
memandang dengan tatapan yang tajam. “Bukankah aku selalu mengirimkan surat setiap minggu. Justu
aku yang seharusnya bertanya; kenapa tidak ada balasan! Aku begitu putus asa
didalam perantauanku, tapi aku tetap memegang janjinya bahwa dia akan
menungguku walau apapun yang terjadi. Tapi apa yang kudapat, sahabatku sendiri
yang aku percayai untuk menjaganya malah menusuk aku dari belakang.
Kubalikan badanku dan kutatap samar-samar bayangan
rumah-rumah penduduk yang hampir tertutup kabut yang sudah mulai menebal. Aku
terdiam……………terlintas 15 tahun yang lalu waktu itu kami selalu bermain bersama
didalam tebalnya kabut yang turun menutupi kebun-kebun teh dimana kami bermain.
Kami berlari mencari gubuk untuk berlindung. Kami terus bermain tanpa
menghiraukan keadaan disekitar. Kejadian demi kejadian terlintas dibenakku. Joe
adalah anak seorang pemilik kebun teh didaerahku. Dia sangat manja dan malas sekali,
terkadang aku harus selalu menemaninya kemana saja dia mau pergi. Aku juga yang
selalu berkelahi dengan anak-anak dari kampung sebelah untuk menolong dia.
Hanya akulah teman yang dia miliki dan yang bisa dia andalkan. Walaupun manja
tetapi Joe adalah orang yang bisa aku percaya dalam banyak hal. Sampai suatu
saat aku bertemu dengan seorang anak baru di daerah kami yang bernama Angela.
Ayahnya Angela adalah seorang insinyur pertanian yang ditugaskan oleh
pemerintah, sedang ibunya adalah guru. Ketertarikanku akan pertanian dan
penelitian menyebabkan aku sering datang dan berkunjung kerumah Angela. Aku
sering pergi bersama Joe, dan akhirnya kami bertiga sangat akrab sekali.
Tak terasa waktu terus berlalu, kami sudah mulai tumbuh
dewasa. Ada
getar terasa waktu aku dekat dengan Angela. Perasaan inipun bisa kurasakan dari
sikap Angela yang mulai menaruh perhatian lebih kepadaku dibandingkan dengan
Joe. Akhirnya aku ungkapkan perasaanku itu kepada Angela dan ternyata gayungpun
bersambut dan kami akhirnya memutuskan untuk menjadi lebih dari sahabat.
Walaupun ibunya kurang menyetujui hubungan kami ini namun kami terus bertahan
dan Joe mendukung hubungan kami. Selepas masa SMA, aku berusaha untuk
melanjutkan cita-citaku untuk menjadi seorang insinyur pertanian dan mengabdi
di desaku. Aku putuskan untuk pergi sekolah ke suatu kota yang jauh dan
melewati laut yang luas. Sedih rasanya kutinggalkan kampung halaman terutama
Angela yang begitu aku cintai. Stasiun ini menjadi saksi bisu perpisahan kami.
Haru, pilu,………………sendu. Kami berjanji untuk saling menanti dan dia berikan aku
sebuah saputangan berwarna biru dan bertuliskan nama kami berdua. Sedih rasanya
berpisah……… “Jaga Angela untuku ya, Joe! Bisikku pada saat kereta membawaku
menjauh dari dua orang yang aku sayangi demi sebuah impian.
Hari demi hari kulalui diperantauan, tak terasa sudah 5
tahun aku tinggalkan kampung halamanku. Semua tantangan dan hambatan yang
menghadangku aku lalui dengan penuh semangat karena aku ingin cepat
menyelesaikan pendidikanku untuk membangun desaku. Perjuanganku tidak sia-sia,
aku dapatkan gelar yang selama ini aku kejar dengan nilai yang terbaik.
Akhirnya aku bisa pulang ke kampung untuk mengamalkan ilmuku. Ingin cepat
rasanya aku sampai dan mengabarkan hal ini kepada keluargaku, khususnya Angela
yang sudah lama aku rindu. Di perjalanan aku memikirkan keadaannnya yang sampai
hari ini tak kutahu kabarnya. Banyak surat yang
telah kukirim namun tak satupun surat
yang telah dia balas. Sudah lupakah dia kepadaku? Peluit kereta menyadarkanku
bahwa aku telah tiba di stasiun dimana aku dulu pergi merantau. Aku sudah
memberi kabar kepada Joe bahwa aku akan pulang hari ini. Setelah aku turun
kulihat Joe sudah menanti. Dengan berbagai perasaan yang berkecamuk antara
rindu dan ingin mengetahui keadaan segala sesuatu kuberlari mendapatkan dia
yang masih berdiri terpaku.
“Hai Joe gimana kabarmu? Bagaimana kabarnya angela?
Knapa tidak ada kabar tentang dia? Gimana desa kita sekarang? Lihat Joe aku
sudah pulang dengan membawa kabar gembira”. Beribu pertanyaan aku lontarkan
kepadanya. Namun aku tak menduga jawaban dari pertanyaanku itu, membuat hatiku
hancur dan kecewa. Joe menceritakan bahwa dia sudah menikah dengan Angela.
Angin berhembus menyadarkan lamunanku dan kudengar Joe
berkata : “Maafkan aku, Ri! Sebenarnya ini adalah perbuatan ibunya yang tidak
menyetujui hubungan kalian berdua. Dulu aku juga menyalahkanmu karena kamu
tidak pernah mengirim kabar kepada Angela. aku sangat kasihan dengan
penderitaan yang dialami oleh Angela. baru setelah setahun kami menikah,
terbongkarlah rahasia bahwa semua surat
yang kau kirimkan untuk Angela telah disembunyikan oleh ibunya. Dia menderita
karena hal itu dan akhirnya Angela jatuh sakit dan harus di bawa ke rumah
sakit,……..namun (dengan kelu) Tuhan berkehendak lain. Angela akhirnya harus
cepat menghadap kepada-Nya. “Maafkan aku ya Ri! Aku tak bisa menjaga Angela”. Dengan
menangis Joe pergi meninggalkan aku yang termenung dan tidak percaya apa yang
telah kudengar.
Kupandangi kepergian Joe dan kabut menutupi pandanganku,
dia seolah-olah lenyap ditelan kabut. Aku terkaget mendengar bunyi gemuruh
kereta yang melintas dengan cepat disampingku. Dan yang lebih kaget lagi
kudengar teriakan minta tolong dari seseorang yang aku kenal. “Joe………….Joe!!!”
Aku berteriak dan berlari kearah suara erangan itu. Samar-samar kulihat tubuh
tergeletak dengan bermandikan darah segar dari sekujur tubuhnya. Aku berteriak
minta tolong……dan orang-orang mulai berdatangan menolong aku mengangkat tubuh
Joe yang diserempet oleh kereta api. Kami membawa dia ke rumah sakit.
“Dari debu kembali kedebu”: perkataan pendeta mengantarkan jenasah Joe untuk dikebumikan.
Aku menangis dan menyesal kenapa aku terlalu egois untuk mendapatkan apa yang
tidak bisa aku raih. Pikiranku bergulat dan berperang dalam batinku “Kenapa aku
terlalu memaksa dan memarahi Joe, orang yang sangat aku percayai, tanpa mau
untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi”. Sekarang dia telah pergi, terbujur
kaku di depanku. Aku begitu menyesal karena apalah artinya kudapatkan segala
sesuatu tapi aku harus kehilangan orang-orang yang aku sangat cintai dan
percaya. Sekarang aku mengerti bahwa cinta tak selamanya harus memiliki dan
segala sesuatu yang terjadi ada alasan yang menyertainya dan aku bisa belajar
dari apa yang dialami Joe mengenai makna kehidupan. Teringat aku akan
kata-katanya yang terakhir waktu aku membawanya ke rumah sakit dan itu
menyadarkanku betapa dia adalah sahabatku yang sejati. “Maafkan aku Ri atas apa
yang telah terjadi diantara kita….”.
“Selamat jalan sahabat” seiring dengan
kutaburkan bunga mawar merah yang harum dan akan terus kukenang persahabatan
kita.